Berdasarkan Convention of London (1814), daerah Maluku diserahkan kembali oleh Inggris kepada Belanda. Kedatangan Belanda kembali ke Maluku disambut dengan banyak perlawanan rakyat.
Rakyat Maluku banyak yang merasa trauma dengan penindasan dan penghisapan pada masa VOC antara lain seperti pelayaran Hongi, ektirpasa dan lain-lain, rakyat Maluku takut hal-hal di atas kembali terulang.
Pada tanggal 8 Maret 1817, masuklah 4 kapal perang Belanda ke Teluk Ambon. Empat kapal itu salah satunya mengangkut 2 orang penting Belanda. Mereka adalah Komisaris Van Middlekoop danEngelhard. Sambutan penduduk Maluku sangat suram dan tidak meriah karena seperti disebutkan di atas, rakyat masih trauma dengan orang-oraKetika Maluku dikuasai Inggris, seolah-olah rakyat Maluku ada pada masa yang menyenangkan. Inggris melarang semua pelanggaran atas hak mereka, kerja paksa dihapus, Inggris juga membeli hasil bumi Maluku dengan harga yang pantas. Ketika Belanda kembali, rakyat Maluku seperti kecewa dan tidak senang karena mereka punya dendam dengan orang-orang Belanda.
Perasaan trauma itu sepertinya akan terulang pada saat Residen gubernur Maluku menginstruksikan diberlakukan kembali kerja paksa (rodi) yang telah dihapuskan oleh pemerintah Inggris sebelumnya dan kewajiban kepada nelayan Maluku untuk menyediakan perahu (orambai) untuk keperluan administrasi dan militer Belanda. Selain itu yang paling berat adalah kerja paksa untuk keperluan penebangan kayu.
Sikap Belanda yang sewenang-wenang ini menimbulkan jiwa kritis rakyat Maluku timbul, rakyat Maluku mulai membandingkan pemerintahan Inggris dengan Belanda. Orang-orang Kristen yang dulunya kebanyakan bekerja untuk pemerintahan Inggris kini bergabung dengan golongan Muslim Maluku untuk merencanakan perlawanan terhadap Belanda.
Perlwanan dimulai ketika rakyat melakukan protes di Kantor Residen Saparua di dalam Benteng Duurstedee. Mereka menuntut agar pemerintah bersedia membayar perahu Orambai yang dipesan oleh pemerintah Belanda dengan harga yang pantas karena selama ini perahu orambai yang diserahkan kepada pemerintah Belanda tidak pernah dibayar. Para pembuat perahu mengancam akan mogok jika tidak dibayar. Residen Saparua Van den Berg menolak tuntutan rakyat itu. Kejadian itu menyebabkan kebencian rakyat Maluku semakin menjadi-jadi.
Akhirnya perlwanan dengan kekerasan senjata terhadap Belanda pun direncanakan. Dalam pertemuan antara para pemimpin rakyat Saparua (berjumlah 100 orang) dibicarakan mengenai rencana perlawanan dan juga dibicarakan mengenai siapa yang akan memimpin, selain itu di dalam rapat tersebut muncul desas-desus bahwa Belanda akan mengenakan wajib militer pada rakyat Maluku untuk ditugaskan ke Jawa, yang mana desas-desus ini menimbulkan perasaan was-was dan semakin menambah kebencian pada Belanda. Dalam rapat itu seorang pria bernamaMatulessy tampak mendominasi pertemuan. Mattulessy memiliki nama lengkap ketika lahir adalah Achmat Lussy dan biasa dipanggil Mat Lussy, ketika Maluku dikuasai Inggris Mat Lussy bekerja sebagai anggota tentara kolonial Inggris dan memperoleh pangkat kapten (kapitan). Waktu itu Inggris membentuk Barisan Maluku di mana ada 400 orang Maluku yang bekerja untuk tentara Inggris. Karena begitu akrab dengan orang Inggris dan sangat menyukai kebudayaannya Mat Lussy bahkan berpindah agama menjadi Kristen Protestan Anglikan dan merubah namanya menjadi Thomas Matulessy. Ketika Inggris harus mengembalikan Maluku pada Belanda, Inggris menawarkan agar 400 orang barisan Maluku itu dipekerjakan untuk Tentara Belanda. Tetapi tawaran itu ditolak Belanda, akhirnya Barisan Maluku dibubarkan, dan 400 orang anggotanya yang kecewa termasuk Mattulessy terpaksa harus menganggur dan hal ini menyebabkan kekecewaan mereka pada Belanda.
Akhirnya pada peretengahan tahun 1817, Belanda menawarkan kepada 400 orang mantan Barisan Maluku untuk bergabung dengan tentara Belanda tetapi dengan syarat mereka harus mau ditugaskan ke Jawa. Tetapi banyak yang menolak karena Jawa dinilai sangat jauh dan mereka menuntut agar ditugaskan ke Kepulauan Maluku saja, tetapi Belanda menolak. Akhirnya dari 400 orang anggota barisan hanya 33 orang saja yang mau bergabung dengan Belanda.
Pengalaman di kemiliteran Inggris membuat Mattulessy cukup disegani karena keahliannya menyusun strategi perlawanan terhadap Belanda, maka para pemimpin adat sepakat untuk mengangkat Mattulessy sebagai pemimpin dengan gelarPattimura.
Pattimura menetapkan sasaran adalah Benteng Duurstede. Benteng di tepi pantai itu akan diserang oleh pasukan yang didaratkan dari pantai. Untuk mengangkut pasukan Pattimuramerencanakan akan memakai orambai yang sedianya akan dipesan oleh Belanda.
Benteng Duurstede adalah tempat tinggal residen SaparuaJohannes Rudolph Van den Berg yang baru berusia 29 tahun yang sejak 15 Maret 1817 menetap di sana. Ia tinggal bersama istri dan 4 anaknya. Selain keluarga residen, benteng ini juga dijaga oleh ratusan tentara dan pegawai administrasi.
Pada bulan April 1817, seorang Maluku bernama Pieter Matheus Sohoka, memberi tahu residen tentang pertemuan 100 pemuka adat Saparua. Yang mana pertemuan itu membahas tentang rencana pemberontakan. Residen yang masih muda dan baru membiasakan diri dengan lingkungan Maluku itu segera menanyakan kepada bawahannya tentang berita dari Sohoka itu. Para pembantu residen kemudian mengatakan bahwa berita dari Sohoka itu bohong belakan. Akhirnya Sohoka dihukum cambuk karena dianggap menyebarkan berita bohong. Akhirnya Sohoka yang sakit hati memutuskan untuk menggabungkan diri dengan pemberontakan.
Pada tanggal 15 Mei 1817 terjadi kerusuhan di Porto di mana sebuah perahu pos Belanda dirampas oleh rakyat yang marah, rakyat mengancam jika Pemerintah Belanda tidak bersedia membayar orambai maka perahu pos itu tidak akan dikembalikan berikut isinya.
Residen Van den Berg dengan ditemani 7 pasukan pengawal berangkat ke Porto untuk melakukan dialog dengan rakyat. Tetapi residen dan pengawalnya tidak tahu bahwa rakyat itu adalah pengikut Pattimura. Ketika sampai di daerah Haria, residen dan pengawalnya disergap dan semuanya berhasil ditangkap, beberapa pengawalnya bahkan ada yang terbunuh. Kuda residen dibunuh. Mengetahui residen ditawan oleh rakyat Saparua, maka dari Benteng Duurstede dikirimkan sekelompok pasukan senapan berjumlah 20 orang dan 12 orang Jawa bersenjatakan tombak. Di tengah jalan 32 orang serdadu itu dihujani dengan panah.ng Belanda.